Sekilas Pandang Agama Shinto


Latar Belakang Sejarah

Suatu suku dari pulau Kyusyu yang terletak pada belahan selatan, dan suku ini belakangan ini membentuk imperium, menyeberang ke utara menuju lembah lamato (Nara) di pulau Honsyu. Ia memperoleh kemenangan dalam persaingan kekuasaan dengan suku Izomo yang punya pertalian darah dengan suku Korea. Melalui peperangan dalam berbagai suku lainya, termasuk suku Ainu, berhasil membentuk sebuah imperium dan naik berkuasa Kaisar Jepang yang pertama-tama pada tahun 660 sebelum Masehi, yaitu Kaisar jimmu Tenno.

Agama Jepang biasanya disebut dengan agama Shinto. Sebagai agama asli bangsa Jepang, agama tersebut memiliki sifat yang cukup unik. Proses terbentuknya, bentuk-bentuk upacara keagamaannya maupun ajaran-ajarannya memperlihatkan perkembangan yang ruwet. Banyak istilah-istilah dalam agama shinto yang suka dialih bahasakan dengan tepat ke dalam bahasa lainnya. Kata-kata Shinto itu sendiri sebenarnya berasal dari bahasa China yang berarti “jalan para dewa”, “pemujaan para dewa”, “pengajaran para dewa”, atau ägama para dewa”. Dan nama Shinto itu sendiri baru dipergunakan untuk pertama kalinya untuk menyebut agama asli bangsa Jepang itu ketika agama Budha dan agama konfusius (Tiogkok) sudah memasuki Jepang pada abad keenam masehi.

Pertumbuhan dan perkembangan agama serta kebudayaan Jepang memang memperlihatkan kecenderungan yang asimilatif. Sejarah Jepang memperlihatkan bahwa negeri itu telah menerima berbagai macam pengaruh, baik kultural maupun spiritual dari luar. Semua pengaruh itu tidak menghilangkan tradisi asli dengan pengaruh-pengaruh dari luar tersebut justru memperkaya kehidupan spritual bangsa Jepang. Antara tradisi-tradisi asli dengan pengaruh-pengaruh dari luar senantiasa dipadukan menjadi sesuatu bentuk tradisi baru yang jenisnya hampir sama. Dan dalam proses perpaduan itu yang terjadi bukanlah pertentangan atau kekacauan nilai, melaikan suatu kelangsungan dan kelanjutan. Dalam bidang spiritual, pertemuan antara tradisi asli Jepang dengan pengaruh-pengaruh dari luar itu telah membawa kelahiran suatu agama baru yaitu agama Shinto, agama asli Jepang.

Bentuk susunan sosial di Jepang dewasa itu terdiri atas himpunan berbagai suku (uji), yang satu persatu suku itu di bawah pimpinaan seorang kepala suku (uji-no-kami). Anggota sesuatu suku itu menyatakan itu turunan satu moyang , yang biasanya dewasa suku (ujigami). Kepala suku bertindak sebagai datu (high prest) dalam upacara pemujaan terhadap dewa suku (ujigami), dan kekuasaaanya bersipat kepadrian (socerdotal). Kepala suku dan keluarganya sering kali beroleh berbagai gelaran (kabane), yang dalam perkembanganya bersifat hirarki. Di dalam Lingkungan suku berada kelompok- kelompok kerja yang bersipat warisan (tomo), yang serpa dengan kedudukan (guilds) di barat.

Jepang itu sepanjang sejaranhg sering berbenturan denag Korea dan Tiongkok dan perbenturan itu meningalkan jejak-jejak pengaruh di jepang.[1]

Agama Shinto

Pengertian

Shinto adalah kata menjemuk daripada “Shin”dan “to. Arti kata “Shin” adalah “roh”dan “toh” adalalah “jalan”. Jadi “Shinto”mempunyai arti lafdziah “jalannya roh”, baik roh-roh orang yang telah meniggal maupun roh-roh langit dan bumi. Kata “to”berdekatan dengan kata “tao” dalam taoisme yang berarti “jalannya dewa”atau “jalannya bumi dan langit”.

Sedang kata “Shin”atau “Shen” identik dengan kata “Yin”dalam taoisme yang berarti gelap, basah, negatif dan sebagainya; lawan dari kata “yang. Dengan melihat hubungan nama “Shinto”ini, maka kemungkinan besar Shintoisme dipengaruhi faham keagamaan dari Tiogkok.

Sedangkan Shintoisme adalah faham yang berbau keagamaan yang khusus dianut oleh bangsa jepang sampai sekarang. Shintoisme merupakan filsafat relegius yang bersifat tradisional sebagai warisan nenek moyang bangsa Jepang yang dijadikan pegangan hidup. Tidak hanya rakyat Jepang y ang harus menaati ajaran Shintoisme melainkan juga pemerintahannya juga harus menjadi pewaris serta pelaksana agama dari ajaran ini.

Sejarah

Shintoisme (agama Shinto) pada mulanya adalah merupakan perpaduan antara faham serta jiwa (animisme) dengan pemujaan terhadap gejala-gejala alam. Shintoisme dipandang oleh bangsa Jepang sebagai suatu agama tradisional warisan nenek moyang yang telah berabad-abad hidup di Jepang. Karena yang menyebabkan timbulnya faham ini tibul daripada mitos-mitos yang berhubungan dengan terjadinya negara Jepang. Lantar belakang historis timbulnya faham ini adalah budidaya manusia dalam bentuk cerita-cerita pahlawan (mitologi) yang dilandasi kepercayaan animisme, maka faham ini dapat digolongkan dalam klasifikasi agama alamiah.

Nama Shinto muncul setelah masuknya agama Budha ke Jepang pada abad ke enam mesehi yang dimaksudkan untuk menyebut kepercayaan asli bangsa Jepang. Selama berabad-abad antara agama Shinto dari agama Shinto dan agama Budha telah terjadi pencapuran yang sedemikian rupa (bahkan sehingga agama Shinto senantiasa disebutkan oleh usaha-usaha untuk memperthankan kelangsungan " hidupnya sendiri.

Pada perkembangan selanjutnya, dihadapkan pertemuan antra agama budha dengan kepercayaan asli bangsa Jepang(Shinto) yang akhirnya mengakibatkan muculnya persaingan yang cukup hebat antara pendeta bangsa Jepang (shinto) dengan para pendeta agama budha, maka untuk mempertahankan kelangsungan hidup agama Shinto para pendetanya meneriama dan memasukkan unsur-unsur budha ke dalam sestem keagamaan mereka. Akibatnya agama Shinto justru hampir kehingan sebagian besar sifat aslinya. Misalnya, aneka ragam upacara agama bahkan bentuk-bentuk bagunan tempat suci agama Shinto banyak dipengaruhi oleh agama Budha. Patung-patung dewa yang semula tidak dikenal dalam agama Shinto mulai diadakan dan ciri kesederhanaan tempat-tempat suci agama Shinto lambat laun menjadi lenyap digantikan dengan gaya yang penuh hiasan warna-warni yang mencolok.

Tentang pengaruh agama budha yang lain nampak pada hal-hal seperti anggapan bahwa dewa-dewa Shintoisme merupakan Awatara Budha (penjelmaan dari Budha dan Bodhisatwa), dainichi Nyorai (cahaya besar) merupakan figur yang disamakan dengan waicana (salah satu dari dewa-dewa penjuru angin dalam budhisme Mahayana) hal ini berlangsung sampai abad ketujuh belas mesehi.

Setelah abad ketujuh belas timbul lagi gerakan untuk menghidupkan kembali ajaran Shinto murni di bawah pelopor kamamobuchi, Motoori, Hirata, Narinaga dan lain-lain dengan tujuh bangsa Jepang ingin membedakan “Badsudo”(jalannya Budha) dengan “kami”(roh-roh yang dianggap dewa oleh bangsa Jepang) untuk memperthankan kelansungan kepercayaannya.

Pada abad kesembilan belas tepatnya tahun 1868 agama shinto diprokklamirkan menjadi agama negara yang pada saat itu agama Shinto mempunyai 10 sekte dan 21 juta pemeluknya. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa faham Shintoisme merupakan ajaran yang mengadung politik religius bagi Jepang, sebab saat itu taat kepada ajaran Shinto berarti taat kepada kaisar dan berarti pula berbakti kepada negara dan politik negara.

Kepercayaan agama Shinto

Dalam agama Shinto yang merupakan perpaduan antara faham serta jiwa (animisme) dengan pemujaan terhadap gejala-gejala alam mempercayain bahwasanya semua benda baik yang hidup maupun yang mati dianggap memiliki ruh atau spirit, bahkan kadang-kadang dianggap pula berkemampuan untuk bicara, semua ruh atau sprit itu dianggap memiliki daya kekusaan tersebut mereka puja dan disebut dengan “kami”.

Istilah “kami”dalam agama Shinto dapat diartikan dengan “di atas”atau ünggul,sehingga apabila dimaksudkan untuk menunjukkan sesuatu kekuatan spritual, maka kata “kami”dapat dialihkan dengan “dewa”(tuhan, God dan sebagainya). Jadi bagi bangsa Jepang kata “kami”tersebut berarti suatu objek pemujaan yang berbeda pengertiannya dengan pengertian objek-objek pemujaan yang ada dalam agama lain.

Pengikut-pengikut agama Shinto mempunyai semboyan yang berbunyi “kamu negara no mishi”yang artinya: tetap mencari jalan dewa. Kepercayaan kepada “kami”daripada benda-benda dan seseorang, keluarga, suku, raja-raja sampai kepada “kami”alam raya menimbulkan kepercayaan kepada dewa-dewa. Orang Jepang (Shinto) mengakui adannya dewa langit (dewa surgawi) dan dewa yang tertinggi adalah Dewi Matahari (Ameterasu Omikami) yang dikaitkan dengan pemberi kemakmuran dan kesejahteraan serta kemajuan dalam bidang pertaniaan. Disamping mempercayai adanya dewa-dewa yang memberi kesahteraan hidup mereka juga mempercayai adanya kekuatan gaib yang mencelakan, yakni hantu roh-roh jahat yang disebut dengan Aragami yang berarti roh yang ganas dan jahat. Jadi dalam Shintoisme ada pengertian kekuatan gaib yang dualistis yang satu sama lain salaing berlawanan yakni “kami”versus Aragami (Dewi melawan roh jahat) sebagaimana kepercayaan dualisme dalam agama Zarathustra.

Dari kutipan diatas dapat dilihat adanya tiga hal yang terdapat dalam kosepsi kedewaan agama Shinto, yaitu:

a. Dewa-dewa yang pada umumnya merupakan personifikasi dari gejala –gejala alam itu dianggap dapat mendengar, melihat dan sebagainya sehingga harus dipuja secara langsung.

b. Dewa-dewa tersebut dapat terjadi (penjelmaan) dari roh manusia yang sudah meninggal.

c. Dewa-dewa tersebut dianggap mempunyai spirit (mitama) yang beremanasi dan berdiam di tempat-tempat suci di bumi dan mempengaruhi kehidupan manusia

Nama yang di pakai untuk menunjukan berbagai kegiatan dan kepercayaan di Jepang. Pada jaman dahulu, shinto merupakan agama rakyat yang berpusat di sekeliling keluarga pagoda- pagoda lokal, tetapi kemudian, hingga sekarang menjadi pemujaan kepada negara dan dihubungkan dengan Kaisar dan istana.[2]

Agama Shinto di Jepang itu tumbuh dan hidup dan berkembang dalam lingkugan penduduk, bukan datang dari luar. Nama asli bagi agama itu ialah Kami no Michi, yang bermakna : Jalan Dewa.

Pada jepang berbenturan dengan kebudayaan Tiongkok maka nama asli itu terdesak kebelakang oleh nama baru, yaitu Shin-To. Nama baru itu perubahan bunyi itu serupa halnya dengan Aliran Chan, sebuah sekyta agama Budha madzab Mahayana di Tiongkok, menjadi aliran Zen sewaktu berkembang di Jepang.

Agama Shinto itu berpangkal pada mitos bahwa bumi jepang itu ciptaan dewata yang pertama–tama dan Jimmu Tenno (660 sM), Kaisar Jepang yang pertama itu, adalah turunan langsung dari Amaterasu Omu Kami, yankni Dewi Matahari, dalam perkawinanya dengan Touki Lomi, yakni Dewa Bulan. Sekalian upacara dan kebaktian terpusat. Seluruhnya pada pokok keyakinan tersebut.

A. Peribadatan agama Shinto

Agama Shinto sanagat mementingkan ritus-ritus dan memberikan nilai sangat tinggi terhadap ritus yang sangat mistis. Menurut agama Shinto watak manusia pada dasarnya adalah baik dan bersih. Adapun jelek dan kotor adalah pertumbuhan kedua, dan merupakan keadaan negatif yang harus dihilangkan melalui upacara persucian. Karena itu agama Shinto sering dikatakan sebagai agama yang dimulai dengan persucian dan diakhiri dengan persucian. upacara –upacara yang lain dalam agama Shinto.

Ritus-ritus yang dilakukan dalam agama Shinto terutama adalah untuk memuja dewi matahari(Ameterasu Omikami) yang dikaitkan dengan kemakmuran dan kesejahteraan serta kemajuan dalam bidang pertanian (beras), yang dilakukan rakyat Jepang pada bulan Juni dan Agustus di atas gunung Fujiyama.

Daftar Pustaka

Alex Ma, kamus ilmiah popular konteporer, (Surabaya, Karya Harapan:) Halaman 594.

Aripin, Muhammad, H, Prof, M.Ed, Mengguak Misteri Ajaran Agama-agama besar, GT. Press Jakarta.

Dhavamony, Mariasusai, Fenomenologi Agama,

Djam’annuri, Agama Jepang, PT. Bagus Arafah, Yogyakarta, 1981

Huston Smith, Agama-agama manusia, Yayasan Obor Indonesia; Jakarta, cek ke-6 2001.

Joesoep sou’yb, Agama-agama besar di dunia, (jakarta, Al husna Zikro: 1996). Halaman 207



-

0 Comments:

Post a Comment